Pengertian Kata 'Syahadat' di Dalam Ucapan 'Syahadat Laa Ilaaha Illallah'
Sungguh telah datang di banyak teks-teks dalil tentang penyertaan kalimat tauhid laa ilaaha illallah dengan kata syahadat: (شهادة أن لاإله إلا الله). Sebagaimana seorang muslim mengucapkannya di banyak negeri dengan lafadz ( أشهد أن لا إله إلا الله ). Maka sangat cocok jika mengaitkan kalimat laa ilaaha illallah dalam menjelaskan makna kata (شهادة).
Secara bahasa kata syahadat merupakan masdar dari fiil شَهِدَ - يَشْهَدُ yang artinya bersaksi.
Ibnu Faris (seorang ahli bahasa arab) mengatakan: "Huruf س dan huruf ه serta huruf د pada asalnya menunjukkan kepada kehadiran, mengetahui dan perhatian. Tidak keluar satupun dari cabangnya tentang apa yang kami sebutkan."
Ketiga makna tersebut terkumpul di dalam kalimat syahadat, yaitu perkataan yang mengandung penghabaran dan pengetahuan mengenai sesuatu yang sudah diketahui lagi disaksikan secara indera (yaitu mengharuskan adanya kehadiran) atau yakin di dalam hati.
Ar-Ragib al-asfahaany mengatakan: "Syahadat adalah ucapan yang diucapkan dengan ilmu yang dihasilkan dari persaksian mata dan hati."
Syaikhul islam mengatakan: "Di dalam syahadat, wajib bagi orang yang bersyahadat mengilmuinya dan membenarkannya dan mampu menjelaskannya. Tidak akan dihasilkan maksud dari syahadat kecuali dengan perkara-perkara ini."
Ketiga perkara ini adalah rukun syahadat, dan penjelasannya adalah sebagai berikut:
Pertama: hadir, hukum asal di dalam syahadat adalah hadirnya orang yang bersaksi secara hissiyyah (dapat ditangkap oleh indera). Ibnu Farisi mengatakan: "Asy-syahadat adalah menghabarkan apa yang telah disaksikan.", kemudian dituntut untuk mengamalkannya di dalam apa yang dia yakini di dalam hatinya.
Abul Abbas al-Qurthuby mengatakan: "Pokok syahadat adalah penghabaran tentang perkara yang disaksikan oleh syahid (orang yang bersyahadat) dengan panca inderanya. Terkadang (pokok syahadat) juga diartikan sebagai apa saja yang dipraktikkan oleh seseorang dan meyakininya, meskipun belum pernah disaksikan dengan panca indera. Karena sesuatu yang dipraktikkan itu adalah ilmu, sebagaimana ilmu yang diperoleh dengan panca indera."
Ibnu Athiyah mengatakan: "Pokok kata (شَهِدَ) di dalam ucapan orang arab adalah َحَضَر yang artinya menghadiri. Contohnya firman Allah Ta'ala:
فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ ٱلشَّهۡرَ
(QS. Al-Baqarah: 185)
Kemudian kata tersebut ditasrif (dipalingkan dari bentuk asalnya) hingga diberikan definisi yaitu apa saja yang ilmu itu kokoh (kuat) di dalam hati dari sisi manapun, berupa makna hadir atau selainnya: شَهِدَ - يَشْهَدُ )
Berdasarkan hal tersebut maka seorang syahid (orang yang bersaksi) harus yakin dan jujur. Jika tidak, maka seandainya dia menghabarkan sesuatu yang bertentangan dengan apa yang dia yakini, atau dia ragu, maka persaksiannya dianggap tidak jujur. Tidak akan terwujud seorang syahid yang yakin dan jujur kecuali dengan menyelaraskan hati dan mencocoki keyakinan. Oleh karena itu syahadat disifati dengan qath'iyyah (kepastian), tahqiq (pengaplikasian) dan jazm (penetapan). Fairuz Abadi mengatakan: "Asy-Syahadah adalah khabar yang pasti."
berdasarkan hal tersebut maka syahadat laa ilaaha illallah mengandung kejujuran dan keyakinan seorang syahid terhadap konsekuensi kalimat tauhid. Ini adalah rukun pertama dari rukun-rukun syahadat.
(Rukun) Kedua: Penghabaran. Tidaklah seseorang disebut bersyahadat sampai dia mengucapkan, dan melafadzkan apa yang dikabarkan tentang sesuatu yang ada pada dirinya. Kemudian mengilmui faidah dari apa yang dia yakini. Maka penghabaran merupakan lisensi yang tersusun atas keyakinan dan ucapan.
Maka perkatan seorang muwahhid (orang yang bertauhid) berupa: (( لا إله إلا الله )) maksudnya adalah aku menghabarkan bahwasanya diriku tetap/kokoh dengan pengesaanku terhadap Allah.
Ibnu Mandah mengatakan: "Syahadat itu adalah sebuah amalan dengan hati dan lisan, semua orang islam tidak berselisih (sepakat) akan hal tersebut."
Kapan saja keyakinan seorang hamba mengandung unsur kalimat tauhid, maka tidak akan berarti kalimat tauhid tersebut sampai dia mengucapkannya. Muhammad bin Nashir Al-Marwazy mengatakan: "Seorang yang bersaksi dengan kalimat لا إله إلا الله, maka dia termasuk orang yang membenarkan dan mengirarkan dengan hatinya. Dia bersaksi terhadap kalimat لا إله إلا الله karena Allah dengan hati dan lisannya. Dia memulai dengan syahadat dengan hatinya dan mengikrarkan dengannya. Kemudian menambahkan syahadat hati tadi dengan syahadat lisannya dan mengikrarkan dengan lisannya."
Jika seseorang terhalang dari mengucapkan لا إله إلا الله dengan lisannya (tanpa udzur syar'i) padahal dia mampu mengucapkannya maka tidak bermanfaat apa yang dia yakini dengan hatinya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: "Adapun jika dua kalimat syahadat tidak diucapkan (dengan lisannya) padahal dia mampu maka dia termasuk orang kafir secara bathin dan dzahir menurut salaful ummah, imam-imam dan ulama-ulama ummat ini."
Apakah seseorang yang tidak mengucapkan ( ُأَشْهَد ) tidak dianggap muslim? Ataukah cukup hanya mengucapkan لا إله إلا الله saja?
Jawabannya: bahwasanya hal tersebut tidaklah harus (wajib).
Ibnul Qoyyim mengatakan: "Semua ummat islam bersepakat (ijmak) bahwa jika seorang kafir mengucapkan لا إله إلا الله محمد الرسول الله saja maka dia telah masuk islam dan telah bersyahadat dengan syahadat yang benar. Dan tidak berhenti keislamannya hanya kerena lafadz ( أَشْهَد ).
(Rukun) Ketiga: Mengilmui Terhadap Apa yang Dia Syahadatkan. Sedangkan tidak mungkin seorang yang bersaksi itu bodoh (jahil) atas apa yang dia persaksikan. Maka bodoh dan syahadat adalah dua hal yang saling menafikan. Perkataan seorang muslim: (( أَشْهَد أن لا إله إلا الله )) mengandung makna bahwa dia mengilmui akan kalimat syahadat tersebut.
Al-Ambary mengatakan: "Ucapan mereka أَشْهَد أن لا إله إلا الله, Abu Bakr menjelaskan maknanya menurut orang Arab yaitu Aku mengetahui bahwa tidak ada sesembahan yang berhak selain Allah, dan aku jelaskan bahwa tidak ada sesembahan yang berhak selain Allah."
Syaikh Abdurrahman bin Hasan mengatakan: "Tidak ada keraguan seikitpun, bahwa syahadat tidaklah disebut syahadat kecuali dengan ilmu, yakin dan jujur. Adapun jika syahadat dengan kejahilan atau keraguan maka tidak dianggap syahadatnya dan tidaklah bermanfaat. Maka orang yang bersyahadat ini keadaanya adalah sebagai orang yang berdusta, dikarenakan bodohnya dia terhadap makna yang dia persaksikan."
Tidak samar lagi bahwa terdapatnya rasa yakin dan keyakinan (itiqad) secara otomatis juga adanya unsur ilmu padanya. Tidak samar juga bahwa pengutipan perkataan ulama dalam masalah ini adalah untuk menambah penjelasan dan meningkatkan perhatian akannya.
Kesimpulan yang didapatkan dari pembahasan yang telah dijelaskan di atas adalah bahwasanya syahadat merupakan penghabaran dari apa saja yang seseorang ketahui (ilmui) dan dia yakini.
Yaitu (sebagaimana) apa yang disinggung oleh Abul Abbas Al-Qurthuby di dalam kalimat yang ringkas, yang mana dia menjelaskan makna ucapan seorang muslim: (أَشْهَد), yaitu: "Saya mengucapkan apa yang saya ketahui dan apa yang saya realisasikan."
Yang semisal dengan ucapan di atas adalah ucapan Syaikh Ibnu Utsaimin dalam menjelaskan makna (. . . أَشْهَد), yaitu: "Aku mengucapkan dengan lisanku sebuah kabar yang hatiku yakini berupa keyakinan, yaitu bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi selain Allah."
Penekanan yang terakhir bahwasanya kalimat tauhid benar-benar disifati dengan kata syahadat (أَشْهَد). Kalimat tauhid disandarkan dengan kalimat (أَشْهَد) padanya. Maka ucapan شهادة أن لاإله إلا الله (di dalam nash yang banyak) sebagai isyarat bahwa kalimat ( لاإله إلا الله ) mengaharuskan dia sebagai sebuah persaksian yang dipersaikan. Maka kalimat (لاإله إلا الله) bukan hanya sekedar ucapan semata, dan juga bukan hanya keyakinan semata. Kalimat tersebut (bisa bermanfaat bagi orang yang mengucapkannya) jika diucapkan dengan jujur dan tumbuh dari ilmu dan keyakinan. Ini akan dijelaskan (dengan pertolongan Allah) pada pembahasan yang kedua.
Sumber : Kitab شهادة أن لا إله إلا الله karya Syaikh Shalih bin Abdil Aziz sindy
Komentar
Posting Komentar