ASAS DAN KAIDAH ISLAM

Tulisan ini adalah terjemahan secara umum dari tulisan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah yang berjudul “Ashlu Dinil Islam wa Qaidatuhu” dan disyarah (dijelaskan) oleh cucunya yang bernama Syaikh Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Dalam tulisan ini saya akan menuliskan perkalimat dari ucapan Syaikh Muhammad kemudian diikuti dengan penjelasan dari Syaikh Abdurrahman bin Hasan.
Bismillah, selamat membaca..
·         Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata:
Asas (inti) dan kaidah islam itu ada dua perkara. Perkara yang pertama: tentang peribadahan kepada Allah semata (tauhid) dan tidak mempersekutukannya (syirik), bekerjasama di atasnya1, berloyalitas di dalamnya2 dan mengkafirkan siapa saja yang meninggalkannya3.
·         Syaikh Abdurrahman bin Hasan menjelaskan:
Dalil akan hal ini (yaitu perkataan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab) di dalam al-qur’an sangat banyak. Seperti firman Allah Ta’ala:
Katakanlah (Muhammad), “Wahai ahli kitab! Kemarilah kepada kalimat yang satu antara kami dan kalian, supaya kita tidak beribadah kecuali kepada Allah dan kita tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun dan kita tidak mengangkat sebagian dari kita sebagai tuhan-tuhan selain Allah.”
(QS. Ali Imran: 64)
Allah memerintahkan kepada nabi-Nya supaya mendakwahkan makna Laa Ilaaha Illallahu yang beliau dakwahkan kepada orang-orang arab dan selainnya. Kata ‘kalimat’ di dalam ayat di atas maksudnya adalah Laa Ilaaha Illallahu, yang mana ditafsirkan dengan kalimat ‘supaya kita tidak beribadah kecuali kepada Allah. Adapun kalimat ‘supaya kita tidak beribadah’ mengandung makna ‘Laa Ilaaha’ yang merupakan peniadaan ibadah kepada selain Allah. Kemudian kalimat ‘kecuali kepada Allah merupakan pengecualian di dalam kalimat ikhlas (tauhid).
Allah memerintahkan nabi-Nya untuk mendakwahi mereka kepada pembatasan ibadah hanya kepada Allah dan meniadakan sesembahan selain-Nya. Yang semisal dengan ayat di atas sangat banyak. Ayat tersebut dan yang semisalnya menjelaskan bahwa ilahiyyah maksudnya adalah ibadah, dan bahwasanya ibadah itu tidaklah sah sedikitpun jika ditujukan kepada selain Allah. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
Dan Rabb kalian memerintahkan supaya kalian tidak beribadah kecuali hanya kepada-Nya.”
(QS. Al-Isra: 23)
Kalimat ‘supaya kalian tidak beribadah’, di dalamnya terdapat makna Laa Ilaaha, dan pada kalimat ‘kecuali kepada-Nya’ mengandung makna Illallahu. Inilah yang dimaksud dengan tauhid ibadah. Tauhid ibadah merupakan dakwahnya pada rasul, tatkala mereka (para rasul) berkata:
Supaya kalian beribadah kepada Allah, tidak ada sesembahan yang haq bagi kalian selain Allah.”
(QS. Al-Mukminun: 32)
Sudah sepantasnya menjadikan nafyu syirki (menafikan kesyirikan) di dalam ibadah sebagai sebuah pokok. Kemudian berlepas diri kesyirikan dan orang-orang yang melakukannya, sebagimana perkataan Allah kepada Khalil-Nya yaitu Nabi Ibrahim:
Dan tatkala Ibrahim berkata kepada Ayah dan kaumnya, “Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian ibadahi. Kecuali terhadap Dzat yang telah menciptakanku.”
(QS. Az-Zukhruf: 26-27)
Berdasarkan ayat ini maka wajib berlepas diri dari peribadahan kepada selain Allah. Nabi Ibrahim juga mengatakan tentang berlepas dirinya dia dari peribadahan kepada selain Allah:
Dan aku mengasingkan diri dari kalian dan apa saja yang kalian ibadahi selain Allah.”
(QS. Maryam: 48)
Berdasarkan ayat ini maka wajib hukumnya menjauhkan diri dari kesyirikan dan pelakunya dengan berlepas diri dari keduanya. Sebagaimana Allah menjelaskan akan hal tersebut di dalam firman-Nya:
Sungguh telah ada bagi kalian uswatun hasanah di dalam diri Ibrahim dan orang-orang bersamanya, tatkala mereka berkata kepada kaumnya “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa saja yang kalian ibadahi selain Allah. Kami mengkafirkan kalian dan telah jelas antara kami dan kalian permusuhan serta kebencian selamanya, sampai kalian mau beriman kepada Allah semata.”
(QS. Mumtahanah: 4)
Di dalam ayat tersebut “Orang yang bersama Nabi Ibrahim” maksudnya adalah para rasul, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Jarir di dalam tafsirnya. Di dalam ayat ini terkandung semua apa yang disebutkan oleh syaikh kita (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab) berupa kerjasama di atas tauhid, menafikan kesyirikan, berloyalitas dengan ahli tauhid, dan mengkafirkan orang yang meningalkan tauhid yaitu dengan melakukan kesyirikan yang mana kesyirikan itu menafikan tauhid. Orang yang melakukan kesyirikan benar-benar telah meninggalkan tauhid. Sesungguhnya keduanya (tauhid dan syirik) adalah dua hal yang saling bertolak belakang dan tidak akan pernah menyatu. Tatkala didapati melakukan kesyirikan maka hilanglah tauhidnya.
Sungguh Allah Ta’ala telah berfirman tentang keadaan orang yang melakukan kesyirikan:
Dan orang musyrik itu menjadikan tandingan-tandingan bagi Allah sehingga mereka tersesat dari jalan Allah. Katakanlah (Muhammad), “Nikmatilah kekufuran kalian sebentar saja, karena sesungguhnya kalian termasuk penghuni neraka.”
(QS. Az-Zumar: 8)
Di dalam ayat tersebut Allah mengkafirkan mereka dengan sebab mengambil tandingan yang merupakan sekutu bagi Allah di dalam peribadahan. Yang semisal dengan ayat ini sangat banyak. Dan tidaklah seseorang itu menjadi muwahhid (orang yang bertauhid) kecuali dengan menafikan kesyirikan, berlepas diri dari kesyirikan, dan mengkafirkan orang yang melakukan kesyirikan.
·         Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata:
Perkara kedua: tentang peringatan terhadap kesyirikan di dalam peribadahan kepada Allah, keras terhadapnya, membangun permusuhan di dalamnya, dan mengkafirkan orang yang melakukannya”
·         Syaikh Abdurrahman bin Hasan menjelaskan:
Tidak akan sempurna kedudukan tauhid kecuali dengan apa yang telah disebutkan oleh syaikh. Inilah agamanya para rasul. Mereka memperingatkan kaum mereka akan bahaya kesyrikan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
Dan benar-benar Kami telah mengutus di setiap umat seorang rasul supaya (memerintahkan) untuk beribadah kepada Allah dan menjauhi thaghut.”
(QS. An-Nahl: 32)
Dan Allah juga berfirman:
Dan tidaklah Kami mengutus sebelummu seorang rasul kecuali Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Aku, maka beribadahlah kepadaKu.”
(QS. Al-Anbiya: 25)
Dan Allah juga berfirman:
Dan ingatlah (Hud) saudara kaum Ad ketika memperingatkan kaumnya terhadap adzab dan telah berlalu beberapa orang pemberi peringatan sebelumnya dan setelahnya (dengan berkata), “Jangalah kamu menyembah selain Allah.”
(QS. Al-Ahqaf: 21)
Perkataan syaikh “Di dalam peribadahan kepada Allah” terdapat pengertian ibadah yaitu nama yang mencakup segala sesuatu yang Allah cintai dan ridhai berupa perbuatan dan ucapan yang nampak atau tersembunyi.
Perkataan syaikh “keras terhadapnya”, ini terdapat di dalam al-qur’an dan Sunnah, seperti firman Allah Ta’ala:
Maka segeralah kembali kepada (menaati) Allah. Sungguh aku seorang pemberi peringatan yang jelas dari Allah kepadamu. Dan janganlah kamu menjadikan sesembahan-sesembahan yang lain selain Allah. Sungguh aku seorang pemberi peringatan yang jelas dari Allah kepadamu.”
(QS. Adz-Dzariyat: 50-51)
Seandainya tidak ada kekerasan yang  terjadi atas Rasul dan para sahabatnya dari orang quraisy maka tentu tidak akan ada gangguan berarti, sebagaimana disebutkan di dalam buku-buku sejarah secara detail. Maka nabi membalas mereka dengan mencela agama mereka dan membongkar aib sesembahan mereka.
Perkataan syaikh “membangun permusuhan di dalamnya”, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
Maka perangilah orang-orang musyrik di manapun kalian menjumpai mereka, tangkaplah dan kepunglah mereka, dan awasilah di tempat-tempat pengintaian.”
(QS. At-Taubah: 5)
Ayat-ayat tentang hal ini sangat banyak, seperti firman Allah Ta’ala:
Dan perangilah mereka itu sampai tidak ada lagi fitnah dan agama hanya bagi Allah semata.”
(QS. Al-Anfal: 39)
Allah Ta’ala memberi stempel kekufuran kepada pelaku kesyirikan di dalam ayat yang tidak terhitung jumlahnya. Maka sudah seharusnya mengkafirkan mereka. Inilah yang terkandung di dalam kalimat laa ilaaha ilallahu yang merupakan kalimat ikhlas. Maka tidak sah maknanya kecuali dengan mengkafirkan siapa saja yang menjadikan sekutu bagi Allah di dalam peribadahan. Sebagaimana di dalam hadits shahih:
Barangsiapa yang mengucapkan laa ilaaha illallahu dan kufur terhadap apa yang diibadahi selain Allah maka haram harta dan darahnya, serta hisabnya atas Allah.”
(HR. Muslim dari Abu Malik dari ayahnya)
Kalimat “dan kufur terhadap apa yang diibadahi selain Allah” pada hadits di atas merupakan bentuk penegasan terhadap penafian, maka tidak terjaga harta dan darah kecuali dengan hal tersebut. Seandainya dia ragu atau bimbang maka tidak terjaga darah dan hartanya.
Maka perkara ini adalah perkara kesempurnaan tauhid, karena laa ilaaha illallahu di dalam hadits di atas diikat dengan persyaratan yang berat, yaitu dengan ilmu, ikhlas, jujur, yakin dan tidak ada keraguan. Maka seorang tidak akan menjadi muwahhid (muslim) kecuali dengan mengumpulkan syarat tersebut seluruhnya. Meyakininya, menerimanya, mencintainya, membangun permusuhan di dalamnya dan berloyalitas di atasnya. Maka semua yang disebutkan oleh syaikh kita rahimahullah mengandung syarat-syarat tersebut.



Catatan kaki:
1 kata ganti “nya” kembali kepada tauhid
2 kata ganti “nya” kembali kepada tauhid
3 kata ganti “nya” kembali kepada tauhid


Referensi:
1. Syarah Ashlu Dinil Islam wa Qoidatuhu oleh Syaikh Abdurrahman bin Hasan Bin Mhammad bin Abdul Wahhab

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Batuan Beku Non Fragmental

Batuan Beku Fragmental

GOLDICH’S WEATHERING SERIES